Selasa, 16 November 2010

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA
 
LAMBANG KOTA YOGYAKARTA
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 
Februari 1755 yang
ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh
atas nama 
Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : 
Setengah masih 
menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. 
Dalam 
perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah 
Pedalaman 
Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul 
Rachman Sayidin 
Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), 

Pojong, Sukowati,
Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, 
Magetan, Cirebon, 
Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, 
Ngawen, Sela, Kuwu,
Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang 

bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram 
yang ada di dalam kekuasaannya itu
diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta 
(Yogyakarta). Ketetapan ini
diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang 

disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang 
disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh 
Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. 
Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera 
memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.


Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati 

pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. 
Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari 
tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang 
sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru 

sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan 
nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan 
Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah 
menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756 

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan 
Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan 
Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi 
tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu


Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX 

dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur 
dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 
September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah 
Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi 
bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945.  Dan pada tanggal 30 
Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa 
pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri 
Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan 
Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang 

menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan 
Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan 
Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, 
sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap 
berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.


Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi 

Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 
1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi 
wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul 
yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai 
daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.  Daerah 
tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.

Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh 

Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari 
Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas.  Hal itu semakin nyata 
dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok 
Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan 
Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang 

kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi 
Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang.  
DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20
orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 
tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD 
dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta 
sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 

Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.  Berdasarkan Undang-
undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin 
oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 
dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh 
ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil 
Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan 
Sri Paduka Paku Alam VIII.  Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah 
Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana 
terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala 
Daerah Tingkat II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan 

pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah 
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur 
kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan 
bertanggung jawab.  Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta 
diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan 
Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala 
Daerahnya.


Dasar Hukum
Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja
Yogyakarta
Makna Lambang :
  1. Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan  perjuangan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)
  2. Warna Hitam : Simbol Keabadian
    • Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran
    • Warna Putih : Simbol Kesucian
    • Warna Merah : Simbol Keberanian
    • Warna Hijau : Simbol Kemakmuran
  3. Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat
  4. Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha dibidang kemakmuran
    •  Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan sandang
  1. Perisai : Lambang Pertahanan
  2. Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta
  3. Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang
  4. Gunungan : Lambang kebudayaan
    • Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan
    • Banteng : Lambang semangat keberanian
    • Keris : Lambang perjuangan
  5. Terdapat dua sengkala
    • Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan pemakaian Lambang Kota Yogyakarta
    • Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884
FLORA DAN FAUNA IDENTITAS KOTA YOGYAKARTA


Dalam rangka menumbuhkan menjadi kebanggaan dan maskot daerah telah ditetapkan 
pohon Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading) dan Burung Tekukur (Streptoplia 
Chinensis Tigrina) sebagai flora dan fauna identitas Kota Yogyakarta


Keberadaan pohon Kelapa Gading begitu melekat pada kehidupan masyarakat Yogyakarta, 
karena dikenal sebagai tanaman raja serta mempunyai nilai filosofis dan budaya yang 
sangat tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, mempunyai makna 
simbolis dan berguna sebagai obat tradisional.


Burung tekukur dengan suara merdu dan sosok tubuh yang indah mampu memberikan 
suasana kedamaian bagi yang mendengar, menjadi kesayangan para pangeran dilingkungan 
kraton.  Dengan mendengar suara burung tekukur diharapkan orang akan terikat kepada 
Kota Yogyakarta



Share
|





PIAGAM YOGYAKARTA

Bismillahirrahmanirrahim
Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
PIAGAM YOGYAKARTA
________________________
Bismillahi Tawakkalna 'Alallah Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billah
Asyhadu An-Laailaaha Illallah Waasyhadu Anna Muhammadan Rasulullaah
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali dalam keadaan berserah diri"
"Dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah menjinakkan di antara hati kalian, dan menjadikan kalian bersaudara atas nikmat Allah. Dan ketika itu kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kalian agar kalian mendapat petunjuk". (Qs Ali Imran 102-103).
Ummat Islam Bangsa Indonesia, sebagai penduduk mayoritas di negara ini, mempunyai hak dan kewajiban mengamalkan dan menegakkan Syari'at Islam, sebagai konsekwensi aqidah yang diyakininya.
Syariat Islam adalah satu-satunya solusi terhadap semua krisis sosial politik dan kemanusiaan yang menimpa ummat manusia. Perlindungan terhadap keyakinan ummat beragama -tanpa kecuali- merupakan karakter pemerintahan yang ditegakkan atas dasar Syari'at Islam.
Dengan demikian, penegakan Syari'at Islam harus menjadi yang pertama dan utama di dalam seluruh aktifitas perjuangan kaum muslimin. Kehancuran suatu bangsa akan semakin dekat tatkala mereka semakin jauh dari pengamalan Syari'at Islam secara kaffah. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Mujahidin di dalam Kongres Mujahidin I Indonesia ini sepakat, bahwa dengan ini menyatakan:
1. Wajib hukumnya melaksanakan Syari'at Islam bagi ummat Islam di Indonesia dan dunia pada umumnya.
2. Menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam yang berakibat syirik dan nifaq serta melanggar hak-hak asasi manusia.
3. Membangun satu kesatuan shof mujahidin yang kokoh kuat, baik di dalam negeri, regional maupun internasional (antar bangsa).
4. Kami mujahidin Indonesia membentuk majelis Mujahidin menuju terwujudnya Imamah (Khilafah)/Kepemimpinan ummat, baik di dalam negeri maupun dalam kesatuan ummat Islam sedunia.
5. Menyeru kaum muslimin untuk menggerakkan da'wah dan jihad di seluruh penjuru dunia demi tegaknya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.
Maka dengan mengharap rahmat, ridha dan maghfirah Allah 'azza wa jalla kami deklarasikan "PIAGAM YOGYAKARTA" demi mengikuti jejak Piagam Madinah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Yogyakarta, 7 Jumadil Ula 1421 H / 7 Agustus 2000 M
Deklarator:
Seluruh peserta Kongres Mujahidin I Indonesia beserta pendukungnya.

Piagam Madinah


Piagam Madinah

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy  dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikui mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komuitas) manusia lain.
Pasal 2
Kaum muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 3
Banu Auf sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 4
Banu Sa’idah sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 5
Banu Al-Hars sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 6
Banu Jusyam sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 7
Banu An-Najjar sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 8
Banu ‘Amr bin ‘Awf sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 9
Banu Al-Nabit sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 10
Banu Al-‘Aws sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 11
Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang diantara mereka tetapi membantunya dengan baik dalam poembayaran tebusan atau diat.
Pasal 12
Seorang mukmin tidak diperbolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya tanpa persetujuan dari padanya.
Pasal 13
Orang-orang mukmin yang taqwa harus menentang orangyang diantara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim , jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.
Pasal 14
Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh)  orang beriman.
Pasal 15
Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikaj oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak bergantung kepada golongan lain.
Pasal 16
Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang olehnya.
Pasal 17
Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
Pasal 18
Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu membahu satu sama lain.
Pasal 19
Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
Pasal 20
Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.
Pasal 21
Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.
Pasal 22
Tidak dibenarkan orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak diterima dari padanya penyesalan dan tebusan.
Pasal 23
Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.
Pasal 24
Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal 25
Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.
Pasal 26
Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 27
Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 28
Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 29
Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 30
Kaum Yahudi Banu Al-‘Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 31
Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 32
Kaum Yahudi Banu Jafnah dari Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 33
Kaum Yahudi Banu Syutaibah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 34
Sekutu-sekutu Sa’labah diperlakukan sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 35
Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).
Pasal 36
Tidak seorang pun dibenarkan (untuk berperang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi  (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesunggunya Allah sangat membenarkan ketentuan ini.
Pasal 37
Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi mauk muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.
Pasal 38
Kaum Yahudi memikul bersama mukiminin selama dalam peperangan.
Pasal 39
Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya haram (suci) bagi warga piagam ini.
Pasal 40
Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.
Pasal 41
Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya.
Pasal 42
Bila terjadi suatu persitiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi piagam ini.
Pasal 43
Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka.
Pasal 44
Mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.
Pasal 45
Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksankan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
Pasal 46
Kaum Yahudi Al-‘Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling
membenarkan dan memandang baik isi piagam ini.
Pasal 47
Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.