Rabu, 17 November 2010

Mengaji pada Konsistensi Ibrahim...



Mengaji pada Konsistensi Ibrahim...

16 Nopember 2010
Realitas hidup berkebangsaan kita saat ini diuji oleh beragam indikator tentang melemahnya spirit ”untuk bangsa”, ”untuk negara”, atau dengan kata lain menguat semangat ”untuk pribadi”, ”untuk kelompok”. Semua itu menyimpulkan kondisi rendahnya matra pengorbanan untuk menuju muara unjuk sikap kenegarawanan. Apakah fenomena yang harus dimaknai sebagai keprihatinan itu hanya memijar dominan di langit kehidupan politik nasional? Bukan hanya politik, tetapi juga dalam berbagai ruang kehidupan secara umum.

Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur DIY sempat mengilustrasikan melemahnya matra pengorbanan itu lewat ungkapan kekecewaannya terhadap ”parade” bendera partai-partai politik di berbagai posko bencana Gunung Merapi. Ia menyentil, akan lebih arif jika hanya memasang bendera Merah-Putih. Barang tentu, tanggapan orang-orang parpol akan berbeda. Namun hakikatnya, Sri Sultan sedang mencoba mengingatkan pentingnya spirit ”untuk bangsa” dibandingkan dengan mengembangkan semangat ”untuk kelompok”.

Keikhlasan untuk memberi dan menerima, dalam bentuk dan ungkapan kehidupan apa pun, memaknakan semangat pengorbanan. Kehidupan plural ala Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika juga meniscayakan keikhlasan itu, sehingga kejernihan untuk membangun harmoni dalam perbedaan disemangati oleh sunnatullah mengenai realitas interaksi kebangsaan untuk tidak saling menghegemoni dan mendominasi. Menerima perbedaan adalah sebuah pengorbanan, dan hal itu merupakan matra unjuk sikap kenegarawanan.

Kita mencoba memaknai spirit keikhlasan Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail dalam menerjemahkan perintah Allah secara tanpa reserve sebagai pelajaran tentang konsistensi. Nilai ketauhidan yang terimplementasi dalam kemaujudan nilai sosial. Interpretasi sebuah ritus yang oleh para ulama kemudian memancar ke relung-relung kesalehan sosial. Bahwa sampai muncul saran agar kurban dalam Idul Adha sekarang diprioritaskan untuk bantuan bagi korban letusan Gunung Merapi, merupakan salah satu terjemah sosial itu.

Keikhlasan berbagi tak cukup kita tafsiri secara materi. Secara struktural hal itu bisa diaktualisasikan sebagai distribusi nilai-nilai kemanusiaan. Jika kurban dimuarakan untuk mengangkat derajat kesalehan ritual seseorang, maka kesalehan sosialnya pun tak tertinggal lewat ekspresi distribusi budaya keberbagian. Dalam konteks yang lebih luas, budaya berbagi itu juga bisa diinternalisasikan ke dalam kehidupan berbangsa: semangat yang tidak terkotak-kotakkan oleh kepentingan sektarianisme dan primordialisme.

Setiap tahun kita selalu belajar dari konsistensi implementasi iman Ibrahim dan Ismail. Dalam aktualisasi sikap berbagai dengan spirit ”untuk bangsa”, kita akan menemukan keindahannya, seperti ketika kita merasa didorong untuk memberi prioritas perhatian: menyegerakan pengentasan saudara-saudara yang tengah dililit kesulitan di pengungsian karena bencana alam. Kita bergerak bukan atas nama pencitraan pribadi atau kelompok, tetapi benar-benar karena penghayatan tentang keindahan berbagi.

***
Benarkah Ada Penggantian Ternak

Dalam salah satu pernyataan resmi ketika mengomentari bencana Gunung Merapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, pemerintah akan membeli ternak milik warga dengan harga yang wajar. Pernyataan ini sebagai rangkaian dari imbauannya kepada warga sekitar Merapi agar bersedia mengungsi, dan tidak perlu terlalu memikirkan barang, atau pun ternak. Tinggalkan semua, lebih baik mengungsi, dan yang penting selamat.

Imbauan turun gunung tentu perlu disampaikan Presiden SBY agar tidak timbul korban lebih banyak lagi. Di samping itu, sebagai pemimpin SBY pasti ingin menentramkan hati masyarakat dari kekalutan. Dampak yang diinginkan dari pernyataan itu tentu para pengungsi di berbagai tempat itu tidak lagi terlalu memikirkan bagaimana nasib dari semua barang, rumah, dan ternak yang ditinggalkan. Dan, benar ternyata, pengungsi merasakan kelegaan.

Kini, setelah badai bencana berangsur surut, pelan-pelan aktivitas warga mulai bangkit. Para pengungsi seperti tidak peduli lagi dengan segala peringatan bahwa Merapi belum sepenuhnya bebas dari letusan. Mereka bergegas pulang ke kampung, ke rumah yang sudah sekian lama ditinggalkan. Mereka tentu amat rindu dengan kampung halaman, dan ingin menyaksikan sendiri apa yang terjadi di rumahnya. Dan, mereka pun menangis melihat semua berkalang debu.

Di saat seperti itu, semua sudah tak dipunyai lagi. Rumah, halaman, sawah, ladang, ternak, bahkan saudara telah menjadi abu. Lalu, mereka pun teringat dengan pernyataan yang melegakan dari Presiden SBY beberapa waktu lalu. Maka sangat wajar manakala mereka bertanya, bagaimana dengan kelanjutannya ? Apakah benar ternak rakyat akan diganti ? Berapa harga per ekor ? Bagaimana mekanisme ? Pertanyaan itu belum juga menemukan jawaban.

Sangat mungkin tak ada yang berani menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ? Lurah, camat, bupati, bahkan gubernur belum berani memberikan jawaban. Barangkali hanya Presiden SBY-lah yang tahu. Benar, pemerintah sudah memiliki dana tanggap bencana Rp 150 miliar, tetapi bagaimana peruntukkannya ? Uang sebanyak itu dibutuhkan untuk banyak hal, bukan hanya ternak tetapi juga rumah-rumah yang hancur, perbaikan infrastruktur, dll.

Di tengah keterbatasan para pengungsi kita mengimbau, segeralah didata ternak, rumah dan segala macamnya. Berikanlah kepastian atas semua dengan segera. Kerahkan seluruh daya untuk memulihkan beban hidup dan kondisi psikis mereka. Jika pemerintah mampu melakukan itu dengan segera, ketidakpastian tidak akan berlarut-larut. Pernyataan Presiden SBY masih sangat jelas diingat, maka jangan sampai kredibilitas dan martabat pemimpin dipertaruhkan..



Share
|





Tidak ada komentar:

Posting Komentar